Bukan Untuk Menyerah, Jerman! (SS)
Bukan Untuk Menyerah, Jerman!
Seminggu lagi adalah hari yang
sangat penting bagi Abim karena Ia akan terbang ke Berlin, Jerman untuk
melakukan tes kerja di Max Planck Institute, sebuah perusahaan yang mengkaji
bidang bahasa di seluruh dunia, bagaimana komunikasi lintas budaya yang akan
dikaji oleh setiap staf Max Planck dari berbagai negara.
Abim adalah seorang lulusan S1
Institut Bisnis Muhammadiyah Bekasi jurusan Ilmu Komunikasi. Ketertarikannya
akan komunikasi lintas budaya benar-benar dibuatnya menjadi kenyataan saat Ia
akan memulai perjuangannya pada hari Senin, 9 hari lagi di Berlin. Dengan
segala keterbatasan kesehatan fisik yang dialami, Ia berhasil melewati serangkaian
tes yang dilakukan di Goethe-House, Jakarta, sebuah sekolah Jerman yang berada
di kawasan Jakarta Pusat. Abim tidak hanya sendiri, Ia dan 2 orang rekannya
yang juga orang Indonesia akan berjuang untuk mendapatkan posisi di Institut Max
Planck. 2 orang rekannya itu tidak lain adalah sahabat Abim sendiri yang
kebetulan memiliki minat yang sama untuk terbang ke Max Planck, yaitu Ageng dan
Kahfi, mereka kuliah di salah satu universitas swasta di Bekasi, kenal dengan
Abim sejak Aliyah.
Di suatu sore, 2 hari sebelum
keberangkatan, mereka bertiga jalan ke sebuah restoran lesehan di daerah Wisma
Asri 1, Bekasi Utara untuk membicarakan apa saja yang akan dipersiapkan sebelum
keberangkatan mereka di Jakarta.
“Bro,
gimana persiapan lo untuk besok lusa?” Tanya Ageng kepada Abim dan Kahfi.
“Gue
yang penting siap mental, Geng, hahaha,” jawab Kahfi tertawa.
“Yee,
maksudnya barang-barang apa aja yang lo bawa kesana? Hahaha,” Ageng kembali
bertanya sambil meminum teh hangatnya.
“Ya
baju-baju, celana, obat-obatan, obat kumur, segala macem lah, Bro.” Jawab
Kahfi.
“Nggak
lupa, charger sama power bank-nya,” cetus Abim
“Hahaha.
Lo, Bim, gimana? Kesehatan lo membaik?” Tanya Ageng pada Abim.
“Persiapan
udah mateng, tinggal persiapan mental,
hehe. Sulit sembuh sih, capek sedikit kan terasa nih ususnya.” Jawab
Abim.
“Sebaiknya
lo periksain dulu ke dokter, Bim, terus lu nanti juga bisa dapet rekomendasi
obat dari dokternya, yang mungkin bisa lo pake juga selama di Berlin.” Kahfi
menyarankan Abim.
“Makasih,
Bro, gue udah ada obatnya kok, mudah-mudahan disana gue tetep bisa jaga
kondisi,” jawab Abim.
“Jangan
sampe kecapekan,” ujar Ageng.
“Ini,
Mas, pesanannya, silahkan, selamat menikmati.” Pelayan restoran menyajikan
makanan yang dipesan oleh mereka bertiga.
“Lo
pesen mie goreng, Bim? Lo radang usus kan!” Ageng berkomentar agak kesal kepada
Abim.
“Di
Berlin yang kayak gini nggak ada, Bro.” Jawab Abim tersenyum sembari memakan
mie instan pesanannya.
“Jangan
kebanyakan, tes nanti kita butuh konsentrasi tinggi lho, kalo lo sakit, pasti
konsentrasi lo keganggu,” Kahfi menyarankan.
“Batu!”
ujar Ageng kesal sambil menuangkan banyak saus ke baksonya.
“Everythings
gonna be okay, haha.” Jawab Abim
santai. Abim memang seorang yang bisa dibilang penyakitan, setahun yang lalu Ia
baru saja menyelesaikan operasi usus buntunya di RSUD Bekasi. 2 tahun sebelum
operasi, Abim sempat mengalami radang usus besar, penyakit yang masih dirasakan
sampai sekarang. Hal itu membuatnya Ia tidak bisa beraktivitas terlalu letih
dan tidak bisa memakan makanan yang pedas ataupun yang terdapat biji-bijian
seperti cabai ataupun jagung. Ia masih teringat dengan perkataan dokter yang
pernah menyatakan, apabila Abim terlalu letih dalam menjalankan tugas ataupun
terlalu sering bermain futsal, bukan tidak mungkin Abim akan mengalami sakit di
bagian usus yang tak tertahankan ataupun bisa juga terjangkit penyakit kuning
atau liver. Abim memang sempat vacuum dari dunia futsal dan hanya fokus
pada kuliahnya. Namun Ia belum bisa menghindari makanan-makanan seperti mie
instan ataupun yang pedas-pedas. Belum lama ini Abim telah aktif lagi bermain
futsal di kampusnya. Beberapa kali ia sempat merasakan sakit di bagian perutnya
akibat tidak bisa mengatur energinya di lapangan futsal. Hal yang seharusnya
tidak boleh terjadi.
Mereka bertiga melanjutkan makannya,
setelah itu mereka salat Maghrib di Masjid Al Muhajirin di dekat rumah Ageng.
Setelah salat mereka duduk sebentar di teras Masjid.
“Sekitar
2 minggu kita disana, lewatin segala macam tes, jaga kesehatan, jaga komunikasi
sama keluarga,” ujar Ageng.
“Sama
pacar juga!” Ucap Kahfi.
“Iyalah,
beda sama jomblo, hahaha,” Ageng meledek Kahfi.
“Liat
nih, gue bakal gaet cewek Jerman,” Kahfi mengelak.
“Gue
tunggu!” Jawab Abim.
“Bro,
gue ada buku tentang komunikasi internasional nih, disini banyak menyinggung
permasalahan-permasalahan pengkaji bahasa di seluruh dunia saat mereka
berkunjung ke negara tujuan.” Ageng menunjukkan buku barunya.
“Penting
nih,” ucap Abim seraya mengambil buku Ageng.
“Gue
udah searching sih di Google dan ternyata rumit juga seandainya objek
yang kita kaji itu kasih peraturan-peraturan ketat bagi para peneliti.” Jawab
Kahfi
“Contohnya
dimana?” Tanya Ageng.
“Israel,”
jawab Abim cepat.
“…”
Kahfi dan Ageng keheranan.
“Gue
sih berasumsi mereka bakal menganggap kita adalah pebanding mana bahasa yang
bagus untuk dikaji, mana bahasa yang buruk. Menurut gue dan kita semua tahu,
faktanya mereka itu streotip, beranggapan budayanyalah yang paling benar. Kalau
bukan begitu, mereka pasti menghargai Palestina, namun kenyataannya?” Abim
meneruskan.
“Gue
merasa makin tertantang untuk pekerjaan ini, Bim.” Ujar Kahfi.
“Coba malam ini kita baca-baca di Internet
soal budaya komunikasi dari berbagai negara,” usul Ageng kepada Abim dan Kahfi.
“Sebaiknya
lo betul, Bro,” ujar Abim.
Keesokan harinya Abim, Ageng, dan
Kahfi mempersiapkan segala barang yang akan dibawanya ke Berlin. Sementara bagi
Abim, ini adalah tantangan yang berat, semalam Ia merasakan sakit tak terperi
diperut bagian kanan, yang tak bukan adalah ususnya. Hal ini tidak disampaikan
ke orang tuanya maupun kepada teman yang lain, Ia tak mau ekspektasi pribadinya
gagal hanya karena kekonyolannya sendiri kemarin, ya, kemarin sore Abim makan
mie instan pedas di rumah makan lesehan.
“Ya Allah, besok hamba akan terbang
ke Jerman, meninggalkan keluarga untuk sementara waktu, lancarkanlah perjalanan
hamba dan sembuhkanlah hamba, Ya Allah.” Abim menangis setelah melaksanakan
salat Ashar, Ia merasakan sakitnya tidak hilang-hilang dari semalam. Pada saat
terasa sakit seperti ini, Abim merasa sakit saat ingin merebahkan badan dan
bangunnya, lalu pada saat ingin rukuk saat salat, biasanya baru hilang setelah
2 minggu. Radang usus besar atau yang bisa disebut kolitis tidak bisa
dihindarkan oleh Abim. Namun keadaan ini tidak membuat konsentrasinya pecah,
Abim tetap bisa melaksanakan aktifitas seperti biasa di rumah, juga pada saat
belajar.
“Bim, sebaiknya Abim tidur jangan
terlalu malam. Tidur gih, besok harus persiapkan fisik yang kuat untuk
perjalanan jauh. Besok berangkat malam, kan?” Pak Fuad, Bapak dari Abim
menyarankan Abim untuk segera istirahat, karena beliau lihat Abim terlalu sibuk
membaca buku pinjaman dari Ageng.
“Iya,
Pak. Sebentar lagi. Bapak istirahat duluan aja.” Jawab Abim.
Esok harinya, Abim, Ageng, dan Kahfi
tiba di Bandara Soekarno-Hatta dengan selamat, bersama keluarga masing-masing
yang turut membantu membawakan barang bawaan dan ingin melihat dan mendoakan
anak-anaknya ketika ingin terbang ke Berlin. Dukungan semangat juga datang dari
rekan-rekan semasa MA dan kuliahnya melalui pesan singkat handphone
mereka.
Di dalam peswawat, Abim hanya
memikirkan rasa sakitnya yang belum mau hilang, ini perjalanan yang berat
baginya. 4 hari yang lalu Ia sempat diam-diam ke klinik memeriksa lagi sakitnya
dan meminta obat yang tepat.
Setibanya di Bandara Berlin, Abim,
Ageng, dan Kahfi langsung disambut oleh delegasi Max Planck dan langsung dibawa
ke Mess dekat kantornya untuk beristirahat terlebih dahulu. 3 orang Indonesia
ini langsung rebahan di tempat tidur.
“Perjalanan
yang berat, Bro. Besok kita tes pertama, harus siap!” Ucap Abim menyemangati.
“Gimana
kesehatan lo? Gue kok ragu, soalnya selama di pesawat lo nggak bersuara sama
sekali.” Kata Ageng meragu.
“Gue
baik-baik aja, semuanya baik-baik aja.” Perjelas Abim.
“Makan
yuk!” Ajak Kahfi kepada kedua rekannya mengingat perut mereka sudah lapar.
Di ruang makan, mereka bertiga
bertemu dengan seorang Israel bernama Yossi. Itu bisa diketahui karena name
tag yang dipakai juga tertera bendera negara asal.
“What
are you doing here?” Tanya Yossi.
“I
want to eat this fried rice.”
Jawab Kahfi.
“Indonesia,” cetus Yossi tersenyum kecut.
“What
do you mean?” Tanya Ageng.
Abim terlihat terdiam di posisi paling belakang.
“Save
many many terrorists, hahaha,”
Jawab Yossi. Dengan gamblang Ia menyatakan seperti itu. Memang pada saat itu
ruang makan sudah sepi karena sudah menunjukkan pukul 11 malam.
“Close
your mouth! You can’t work in this place if you say everything about negative
statement about the culture of a country!”
Jawab Ageng bernada marah.
“Whatever!
Hahaha,” singkat Yossi melangkahkan kaki ke
kamar.
“Jangan
ambil hati, Israel memang begitu dan gue nggak ngerti kenapa harus ada bendera
di kartu nama kita ini.” Abim meredakan situasi. Namun saat itu juga Abim
terjatuh karena merasakan sakit yang luar biasa pada perut kanannya.
“Astaghfirullah,”
ucap Abim.
“Bim!”
Kahfi dan Ageng tanggap. Mereka berdua langsung membawa Abim ke klinik kantor.
Setelah melalui pengobatan, Abim
tetap bisa ikut melaksanakan tes pertama untuk menjadi seorang staf Institut Max
Planck. Tes pertama, tes kedua, dan tes ketiga dilakukan dengan sangat baik
oleh Abim. Sementara Ageng dan Kahfi terlihat sangat letih karena pikirannya
terkuras. Sementara Yossi terlihat santai-santai saja terlihat seperti tidak
mengikuti tes. Mencurigakan sekali.
Ada 112 peserta tes dari 50 negara.
Cukup banyak. Namun yang akan lolos menjadi staf Institut Max Planck adalah 5
orang. Persaingan yang ketat.
Sementara Abim masih belum bisa
menghilangkan ringisannya terhadap penyakit yang dideritanya. Abim sempat
terjatuh pingsan karena merasakan sakit yang tak tertahankan. Sampai 3 kali Ia
harus melakukan perawatan di klinik.
Di 3 hari terakhir sebelum
melaksanakan tes ke-4 atau tes terakhir, Abim merasa sangat lemas, ini
benar-benar ujian. Ageng dan Kahfi terlihat sangat dekat dengan Abim untuk
menjaganya. Persahabatan mereka erat.
Setelah melaksanakan tes terakhir,
tibalah saat penentuan, yaitu pengumuman siapa saja yang lolos sebagai staf
baru Max Planck. Mr.Thomas selaku wakil kepala perusahaan menyebutkan 5 peserta
terbaik. Mr.Thomas dikenal sebagai seorang yang sangat tegas dengan kejujuran.
Sebelum menyebutkan peserta terbaik, beliau bilang kepada audiens, bahwa
kecurangan-kecurangan yang terjadi saat tes sudah diketahui dan tidak akan ada
lagi kecurangan-kecurangan berikutnya. Yossi merasa kecewa karena Ia harus
gagal melewati tes ini karena pada saat tes kedua, Ia berkonspirasi dengan 7
orang Israel yang tak lain adalah staf di Max Planck sendiri. 7 orang staf
tersebut telah dipecat dan dikeluarkan dari Max Planck.
“And
now, I want to 5 participants to stand up on the stage as the best 5 and they
can’t delaying the time to be a staff of Max Planck Institute. First, Ageng
Lestari. And then, Abdul Kahfi. Next, Skhodran Karim. At fourth, Hakan Terim.
And the best of the best participant is… Abimanyu Hanggara. Congratulation for
the best 5 who can be the new staff here. Wonderful! Incredble! Welcome to Max
Planck Istitute.”
5 laki-laki hebat asal Turki dan
Indonesia ini berhasil menembus segala kesulitan yang ada. Luar biasa.
Pencapaian yang tidak terduga. Mereka akan kembali ke negara masing-masing dan
akan kembali ke Berlin 4 bulan kemudian untuk menjadi staf di Max Planck
Institute.
Di hari terakhir di Berlin, Abim,
Ageng, dan Kahfi menaiki bus tingkat mengelilingi kota Berlin. Ia sempat
berhenti di sebuah café Islami disana.
“Jangan
pesan mie instan atau gue tinggal sendirian lo disini!” Kata Ageng sambil
melotot.
“Pesen
gih biar kita tinggal!” Tambah Kahfi.
“Hahaha,
katanya mau gaet cewek Jerman, mana nih!” Abim tertawa kecil meresponnya seraya
menyindir pernyataan Kahfi saat beberapa waktu yang lalu di restoran lesehan.
Di Indonesia, Abim sempat beberapa
kali ke klinik, untuk memastikan keadaannya baik-baik saja. Perjuangan yang
berat baginya dan kedua sahabat terbaiknya yang pernah Ia punya.
Komentar
Posting Komentar