5 Pemuda Berbaju Biru (SS)
5 PEMUDA BERBAJU BIRU
Ada 5 orang Indonesia yang berhasil
masuk sebagai staf World Health Organization (WHO), sebuah organisasi naungan
PBB yang berkantor pusat di Jenewa, Swiss. Mereka ialah Abimanyu, Abdul Kahfi,
Ade Ahmad, Ali dan Alda Saputra. Mereka semua laki-laki hebat dari Indonesia.
Mereka sah sebagai staf pada bulan Agustus 2014, 5 bulan yang lalu.
“Akhir-akhir
ini banyak negara yang kekurangan bahan pangan, banyak juga yang meninggal….”
Alda membuka pembicaraan saat di jam istirahat kerja. Pembicaraannya langsung
diselak saja oleh Ade, “Karena krisis ekonomi, di negara-negara ASEAN, khususnya
Malaysia.”
“Indonesia
masih aman. Malaysia paling parah, sampai-sampai terjadi pembakaran
gedung-gedung oleh banyak rakyatnya, sambil demo sambil membakar,” lanjut Ali
menjelaskan.
“Mereka
bergejolak, kita tunggu apa atasan menugaskan kita kesana untuk membantu memberikan
obat-obatan bagi mereka yang tidak bisa melakukan apapun dan rumah-rumahnya
ikut hancur oleh massa,” jelas Abim.
“Mungkin
setelah istirahat Mr.Xherdan akan membahasnya, soalnya di rapat tadi beliau
mengindikasikan adanya tugas baru bagi staf-staf yang berasal dari Asia untuk
peka terhadap apa yang terjadi pada benuanya,” imbuh Kahfi. Mr.Xherdan adalah
orang Swiss asli, pimpinan tertinggi di WHO.
Setengah jam setelah istirahat, Pak
Xherdan dan staf-staf yang lain memasuki ruang kerja, namun Pak Xherdan
memberitahukan seluruh staf untuk lebih dahulu berkumpul di ruang meeting
utama yang terletak di lantai 5. Beliau memerintahkan para stafnya untuk
mempersiapkan diri untuk turun langsung memberikan bantuan ke Malaysia yang
sedang bergejolak. WHO serta UNICEF akan memberi bantuan bersama.
“Abim,
Kahfi, Ade, Ali, and Alda, I will give you a new job, this is a hard job. But I
trust you. Your country is nearby Malaysia. You will go to Malaysia to help
them, give a lot of medicine. You’re not alone. UNICEF too, they will go to
Malaysia, they send 20 person. WHO just 5. Are you ready to help them?” jelas Mr.Xherdan dan langsung disetujui oleh 5 orang tersebut.
“When
we have to fly to Malaysia, Sir? And where the city in Malaysia we have to help
them?” tanya Alda.
“5
days from now. You will help the people’s in Sabah, you will find in our map we
give you. This afternoon, you back to Indonesia, to get a permit from your
family,” jawab Mr.Xherdan seraya memberikan
peta daerah Sabah di Malaysia.
“How
about the other staff, Sir?”
tanya Ali.
“Watch
you from this place, make sure that you and all staffs in here always in good
communication!”
“Okay,
we will prepare our luggage from now,”
singkat Ade.
“Sorry,
Sir. Who is the leader for this job?” Ali
kembali bertanya.
“Abim,”
dengan tegas Mr.Xherdan menjawab Abimlah yang jadi leadernya.
“Okay,
Sir, I am ready,” tegas Abim.
“I
will send the expense by your bill. The medicine is ready now. You will bring
it,” imbuh Mr.Xherdan sambil menunjuk ke arah pojok ruangan, terdapat
10 dus obat-obatan dan makanan sehat.
Ketika sore, sesampainya di Bandara
Jenewa, Abim berbicara serius kepada 4 lainnya. “Saya akan menamakan rombongan
sederhana ini dengan nama “Geng Biru” karena disana kita akan mengenakan baju
biru, warna logo WHO. Tapi soal nama geng ini, jangan kalian ceritakan ke
orang-orang WHO lainnya. Mengerti?”
“Siap!”
yang lain jawab serentak.
Keesokan harinya ketika 5 rombongan
WHO ini tiba di Indonesia. Mereka langsung disambut oleh para keluarganya.
Mereka berlima masih belum mempunyai kekasih, jadi tak ada hal spesial yang
lain yang menyambut kedatangannya. Ini juga berkali-kali dikatakan oleh Kahfi
saat istirahat kerja. “Untuk sekarang sendiri lebih baik, kita bisa lebih
fokus. Kita masih muda.”
Di
hari pertama mereka di rumah, Abim mendapatkan kabar dari Mr.Xherdan bahwa
rombongan UNICEF menunda perjalanannya hingga minggu depan. Ini menjadi berita mengejutkan
bagi rombongan WHO ini. Mr.Xherdan juga menjelaskan jika WHO akan tetap
berjalan dan pernyataan itu diiyakan oleh 5 orang Indonesia ini.
Di hari keempatnya di Indonesia,
Geng Biru sudah siap menuju Malaysia. Sesampainya di Bandara Sabah, mereka
berlima mencari-cari daerahnya melalui peta.
“Lihat
ini, sepertinya kita ditugaskan di daerah terpencil,” Abim sambil
memperlihatkan peta kepada yang lain.
“Ini
tidak masalah, kita bisa telusuri itu selagi kita bawa persediaan barang dan
kesiapan mental dan fisik yang kuat,” tegas Kahfi.
“Sebaiknya
anda benar,” singkat Abim. Dan Geng Biru langsung menaiki bus yang membawa
mereka menuju Sabah.
Sekitar 6 jam perjalanan, sampailah
Geng Biru ke tempat yang dituju. Menurut info sopir busnya, masih ada 7 kilometer
lagi jalan untuk kesana, tanpa ada kendaraan.
“Ini
benar-benar pedalaman,” gumam Ade dalam hati. Di tengah-tengah perjalanan, Ade
dan Ali terlihat letih sekali. Geng Biru sempat beristirahat di pinggir sebuah
hutan. Tidak ada orang-orang yang lewat. Hari telah malam, Abim telah
memerintahkan lainnya untuk beristirahat di tempat itu semalam, jika pagi sudah
tiba, baru melajutkan perjalanan.
“Kamu
tidak kenapa-kenapa?” tanya Abim kepada Kahfi dan Alda yang terlihat lemas
juga, bersandar di pohon besar.
“Kami
baik-baik saja, Cuma lemas sedikit,” jawab Alda.
“Oke.
Ade, Ali, bagaimana kondisi kalian?” Abim kembali memeriksa keadaan Ade dan
Ali.
“Kita
baik-baik saja, Bim. Kapan kita ke tujuan?” Ade kembali meyakinkan dengan
bertanya.
“Setelah
salat Subuh, handphone dari Mr.Xherdan pastikan selalu menyala, untuk
menerima panggilan dari kantor pusat,” perintah Abim. Mereka tertidur sampai
akhirnya jam 5 pagi bangun. Mereka salat Subuh di tengah hutan dengan alas
seadanya. Barang-barang bantuan yang diletakkan dalam sebuah gerobak besar
hasil sewa ketika sampai di pemberhentian terakhir bus dengan seorang
kakek-kakek diletakkan di samping mereka salat.
Jam 7 pagi telah tiba. Geng Biru
melanjutkan perjalanan.
Sampai di tempat tujuan, betapa
mirisnya melihat kehidupan disini, pedalaman Sabah. Daerah terpencil ini
semakin terkena dampak anjloknya ekonomi Malaysia. Abim langsung menemui
seseorang yang disebut sebagai pemimpin adatnya.
“Selamat
Pagi, Bapak. Saya Abim, ini Kahfi, Ade, Alda dan Ali. Kami dari WHO, organisasi
kesehatan dunia, ingin membantu masyarakat yang ada disini. Kami mendapat kabar
kalau Malaysia sedang ada dalam krisis ekonomi dan pembakaran masal. Kami akan
memberikan obat-obatan secara gratis dan juga ada sedikit makanan.”
“Pagi.
Daerah ini bernama Sabah Dalam. Karena letaknya di pedalaman. Saya tak tahu
tentang WHO. Tapi kami berterima kasih,” sesaat setelah Ketua Adat ini bicara,
seorang laki-laki yang ada di sebelahnya bicara dengan keras.
“Kamu
Indon? Didengar dari namanya, kalian Indon,” tanya orang itu.
“Iya,
kami orang Indonesia, bukan Indon, tapi Indonesia,” jawab Alda.
“Kami
disini tidak suka dengan Indon! Kalian harus tahu itu!” orang itu bernama
Sedah, bapak Ketua Adat memberitahu.
“Benar
kalian Indon? Benar Indonlah yang telah menjelek-jelekkan negeri kami? Kami
banyak dengar seperti itu,” tegas Ketua Adat.
“Itu
adalah pemahaman yang salah, Pak, Indonesia memiliki hubungan yang baik dengan
negara Malaysia,” jawab Ade.
“Kalian
bohong, pasukan? Bawa dia ke rumah kosong itu lalu bunuh mereka!” Ketua Adat
langsung memerintahkan 20 orang yang berbadan kekar untuk membawa Geng Biru
masuk ke rumah kosong yang tersedia. Abim berkata kepada seluruh pasukannya.
“Apa
yang kaliah butuhkan dari kami? Jangan dengan kekerasan seperti ini kalian
menyambut tamu. Ini tidak baik!”
“Kami
butuh uang, kami butuh makan, kami butuh air, tapi kalau yang membantu adalah
kalian Indon, kami benci, kami akan bunuh kalian!” jawab Sedah.
“Ini
semua murni dengan keikhlasan kami membantu kalian, kalian minta uang, kami
ada, makanan, air, kami ada. Obat untuk anak-anak kalian, kami ada. Bukan
seperti ini caranya,” Abim kembali menjawabnya. Kahfi, Ade, Alda dan Ali berada
di belakang Abim.
“Pasukan,
bawa dia ke rumah kosong dan ikat mereka! Jangan bunuh mereka! Kita akan lihat
apakah makanan yang mereka bawa adalah makanan yang bersih. Bawa mereka!”
perintah Ketua Adat.
Hingga tiba malam hari, Geng Biru
masih terikat. Mereka dikunci dari luar. Tidak ada penjaganya di dalam. Hanya
ada 2 orang di luar.
“Nampaknya
ini adalah Orang Asli,” ucap Abim.
“Orang
Asli?” tanya Kahfi.
“Orang
Asli ialah penduduk asli Malaysia selain suku Melayu. Terdapat beberapa
kelompok. Dan saya rasa ini adalah salah satunya, mereka mengerti sekali bahasa
kita, sepertinya ini kelompok Proto-Malay,” jawab Abim.
“Ade,
di sebelahmu ada batu kecil, usahakan dengan kakimu, ambil dan dekatkan ke tanganmu,
untuk buka ikatan ini,” tiba-tiba Ali melihat adanya batu kecil.
“Saya
dapat, saya langsung bisa membukanya,” Ade dengan pelan-pelan membukakan tali
pengikat Abim, Kahfi, Ali dan Alda. Kini mereka bebas. Namun Geng Biru masih
harus di dalam, karena 2 penjaga rumah itu tidak sedang tidur.
“Kita
bisa keluar, lihat, senjatanya ia letakkan disini,” Ade melihat senjata berupa
2 pistol.
“Saya
punya 2 minyak kayu putih, obat nyamuk oles dan 2 buah sapu tangan. Mungkin ini
bisa jadi obat mematikan buat mereka penjaga,” ujar Ali.
“Oke,
yang lain kita lihat sedang tertidur, namun keadaan di luar sedang gelap, handphone
kita diambil mereka. Jalan satu-satunya kita tempelkan cairan ini ke mulut dan
hidung 2 penjaga itu, Kahfi, Ali, kalian ambil penjaga yang kiri. Ade, Alda,
kalian yang sebelahnya. Saya akan ambil senjatanya. Jika ada Orang Asli yang
melihat kalian, kalian langsung kabur saja ke hutan sebelah utara yang kita
lewati tadi pagi. Karena semua sedang tertidur, seandainya kejadian itu
terjadi, kalian masih bisa kabur dengan leluasa ke luar Sabah Dalam dan menuju
kota untuk meminta bantuan. Kalian bisa ke telepon umum untuk menelepon kantor
pusat WHO. Mengerti?” tegas Abim panjang lebar.
“Bagaimana
denganmu, Bim?” tanya Kahfi.
“Di
belakang sepi, saya akan berusaha tidak ketahuan. Saya harap kamu juga. Kita
disini mencoba keluar dari daerah ini. Hanya itu. Sesederhana itu. Ayo kita
berdoa,” jawab Abim dan mengajak Geng Biru untuk berdoa.
Kahfi, Ali, Ade dan Alda tanpa
sedikitpun kesulitan langsung bisa membuat pingsan kedua penjaga rumah itu.
Namun masalah baru timbul ketika gerakan mereka berempat dilihat oleh salah
satu pasukan Sabah Dalam. Mereka bereempat langsung melarikan diri menuju hutan
dan mengusahakan bisa keluar dari Sabah Dalam. Mereka dikejar oleh sekitar 10
orang. Beruntungnya 10 orang itu mati saat mengejar diakibatkan diserang
sekelompok ular mematikan.
Abim mengalami hal yang sama, ketika
ia sudah mendapatkan pistol dan diletakkan di saku celana, ia dilihat oleh
Ketua Adat dan Sedah.
“Mau
apa kau? Mana teman-temanmu? Jawab!” keras Ketua Adat.
“…”
Abim hanya diam saja sambil menatap tajam mata Ketua Adat.
“Nampaknya
yang lain berhasil keluar. Ini tidak bisa dibiarkan,” Sedah melihat keadaan
rumah kosong itu.
“Sedah,
ikat dia, jangan bunuh dia, sepertinya Indon yang satu ini adalah pemimpinnya,”
perintah Ketua Adat. Abim diikat dengan kencang. Dan disiram wajahnya dengan
air sungai yang dingin oleh Ketua Adat.
“Jangan
sebut orang Indonesia dengan sebutan Indon! Mengerti kalian?” Abim tegas kepada
keduanya. Dan 10 pasukan lainnya juga ikut masuk ke rumah itu.
“Baiklah,
kita akan panggil kalian Indo,” singkat Ketua Adat.
“Enak
juga makanan yang kau bawa. Apakah itu mematikan bagi kami?” tanya Sedah.
“Tidak,
itu menyehatkan, saya ikhlas lillahita’ala membawanya untuk kalian,” jawab
Abim.
“Aku
tak percaya,” singkat Sedah.
“Dimana
4 anak buahmu?” tanya Ketua Adat sambil menampar wajah Abim.
“Aku
tidak tahu, mereka kabur saat aku tidur,” jawab Abim.
“Bohong,
saya akan tetap mengikat anda, kalau bisa sampai kamu perlahan mati, hahaha,”
ujar Sedah sambil menendang kepala Abim sampai berdarah.
“Kalian
minta uang, makanan, obat dan air sudah saya kasih, apa yang kalian minta lagi?
Semua itu bersih tanpa ada yang menyakitkan,” jelas Abim.
“Kami
tidak peduli, kami tidak suka jika ada orang Indo ke negeri kami, Indo telah
menyebar kabar buruk berkaitan budaya negeri kami,” jawab Ketua Adat.
“Itu
bukan kabar yang sesungguhnya,” singkat Abim.
“Diam!
Ayo kita tinggalkan dia, kunci dia dari luar!” keras Ketua Adat. Abim hanya
berdiam diri, berdoa dan berharap esok pagi akan datang bantuan.
Benar saja, sekitar jam 3 pagi,
Kahfi, Ali, Ade dan Alda berhasil keluar dari Sabah Dalam. Mereka langsung
menelepon WHO untuk mengabarkan keadaan mereka di Sabah Dalam. Sambil menunggu,
mereka tidur di sebuah Masjid.
Pada sore harinya, WHO dan Badan
Keamanan PBB datang ke Malaysia, bertemu dengan Kahfi, Ali, Ade dan Alda.
Mereka mengajak WHO dan Badan Keamanan PBB yang membawa perlengkapan senjata
lengkap.
WHO masuk ke Sabah Dalam dengan
sangat hati-hati. Mereka mendapati para pasukan dan Ketua Adat sedang tertidur,
sedangkan Abim berhasil dilepaskan oleh Kahfi. Gerak-gerik WHO yang dilihat oleh
para pasukan Sabah Dalam yang terbangun, mereka langsung menyerang WHO dengan
lemparan batu. WHO langsung menembak kaki-kaki para pasukan Sabah Dalam
termasuk Ketua Adat sehingga mereka tidak bisa berjalan. Terlihat Abim menatap
tajam mata Ketua Adat.
“Are
you okay?” tanya Mr.Xherdan.
“I
am okay,” singkat Abim. Mr.Xherdan langsung
melemparkan granat kecil dan meledakkan sebuah rumah yang menjadi tempat
penyekapan Abim. Geng Biru saling berpelukan.
WHO menaiki mobil. Dan berjalan
menuju Bandara dengan keadaan baik-baik saja. Sementara itu, keadaan negara
Malaysia semakin tidak karuan, gedung-gedung hancur. Rakyat-rakyatnya semakin
miskin. Ya, semua itu disebabkan oleh Kepala Negaranya yang ketahuan korupsi
dan hutang ratusan miliar dollar kepada World Bank.
Beruntung masih ada 1 bandara yang
masih membuka penerbangan. Tanpa mengabari orang tuanya yang dirasa akan
melarangnya untuk kembali bekerja di WHO, Geng Biru langsung terbang ke Swiss
untuk diberi perawatan.
Abim, Kahfi, Ade, Ali dan Alda
selamat dalam penyanderaan tersebut. Mereka kembali bekerja normal setelah
menjalani perawatan di salah satu rumah sakit di dekat kantor pusat WHO. Di
suatu sore, seminggu setelah Geng Biru selesai menjalani perawatan, mereka
pergi ke sebuah café.
“Thank
you untuk semuanya, 2 minggu yang lalu adalah hari-hari berat untuk kita.
Kita disekap, disiksa, namun karena kita tidak lupa berdoa setiap ingin
bergerak, kita diselamatkan Allah SWT,” Abim berterima kasih kepada Kahfi, Ali,
Ade dan Alda.
“Semoga
Allah selalu melindungi kita, dimanapun saat kita kebali bertugas. Aamiin,”
singkat Ali dan semua mengucap “Aamiin.”
Komentar
Posting Komentar